Connect with us

Hukum

Revisi UU Polri, KPI Minta Perkuat Fungsi Pengawasan Publik terhadap Kinerja Polri

Published

on

Revisi UU Polri, KPI Minta Perkuat Fungsi Pengawasan Publik terhadap Kinerja Polri

JAKARTA, Taxspy.site – Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Mike Verawati Tangka mengatakan bahwa Revisi Undang Undang (RUU) Kepolisian RI belum mendesak untuk dilakukan. Menurutnya, saat ini yang perlu dilakukan adalah penguatan internal institusi kepolisian melalui peningkatan kebijakan teknis dan regulasi operasional.

“Pengaturan sudah cukup kuat,” ujar Mike, saat dimintai pendapatnya mengenai wacana revisi UU Polri, belum lama ini (17/3/2025).

Menurut Mike, pembenahan internal Polri lebih baik dilakukan dengan memperkuat kebijakan teknis dan regulasi operasional yang ada, ketimbang merevisi undang-undang.

“Jika ingin merevisi, tidak perlu dalam segi undang-undang menurut saya. Bagaimana institusi kepolisian ini diperbaiki di dalam, itu saja, tidak perlu melalui revisi undang-undang,” katanya.

Menurutnya, sanksi tegas yang dijatuhkan terhadap pelanggaran adalah salah satu cara untuk memastikan perbaikan yang efektif.

Selain itu, Mike mengusulkan agar publik juga diberi ruang untuk melakukan pengawasan terhadap kinerja kepolisian, tentu untuk memastikan akuntabilitas dan transparansi.

“Bagaimana institusi kepolisian ini imputable. Bukan cuma polisi, masyarakat umum bisa men-tracking apa saja yang sudah dikerjakan polisi, termasuk indikasi-indikasi korupsi. Bagaimana ini saja yang dikuatkan,” ujarnya.

Jika revisi tetap dirasa perlu dilakukan, menurut Mike, fokus utamanya adalah penguatan aspek pengawasan masyarakat. Hal ini, salah satunya, untuk mencegah dan mengurangi indikasi indikasi pelanggaran di tubuh Polri.

“Kita butuh penegakan hukum yang kuat. Sudah bukan alasan lagi untuk tidak berbenah diri,” jelasnya.

Lebih lanjut, Mike mengingatkan bahwa apabila revisi UU Polri dilakukan, hal tersebut harus sesuai dengan konstitusi, terutama terkait peran dan fungsi Polri.

“Revisi harus dikembalikan sesuai yang ditetapkan oleh konstitusi kita, UUD 1945, bagaimana peran TNI-Polri,” tegas Mike.

Sebelumnya, Ketua Kelompok Fraksi (Kapoksi) Partai NasDem Komisi III DPR Rudianto Lallo menyatakan siap membahas revisi Undang-Undang (RUU) Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Kejaksaan jika dianggap mendesak.

“Tentu kalau dipandang mendesak juga dibahas RUU Kejaksaan, RUU Kepolisian, kita siap saja di Komisi III untuk membahas itu,” ujar Rudianto Lallo di Jakarta, Kamis (20/3/2025)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Hukum

Tanpa Pengawasan, KontraS Nilai Revisi KUHAP Tak Bawa Perubahan

Published

on

By

Jakarta – Proses revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) kembali menuai sorotan. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai pembahasan yang sedang berlangsung di DPR RI berpotensi melahirkan aturan yang belum mampu menjamin perlindungan hak-hak warga negara jika tidak disertai mekanisme pengawasan yang memadai.

Peneliti KontraS, Hans G. Yosua, menegaskan bahwa problem utama terletak pada tidak adanya mekanisme untuk menguji legalitas tindakan aparat, khususnya dalam proses penyadapan, penangkapan, dan penahanan.

“Wewenang penyadapan, penangkapan, penahanan tidak boleh dilakukan dengan sewenang‑wenang. Nah ini yang mau kita dorong ada di KUHAP,” tegas Hans dalam keterangannya kepada media, belum lama ini (17/7/2025)

Ia menilai bahwa selama ini jaminan hukum yang tersedia hanya bersifat normatif dan tidak diikuti oleh mekanisme yang dapat menguji tindakan aparat secara konkret.

“Jadi oke diberikan wewenang kepada penegak hukumnya, tapi hak warga negara juga dijamin, termasuk hak‑hak kelompok minoritas, kelompok disabilitas misalnya,”
tambah Hans.

KontraS berpandangan, jika konsep pengawasan tersebut tidak dimasukkan, maka revisi KUHAP tidak akan memberikan terobosan hukum yang signifikan.

“Sepertinya tidak ada perbedaan antara KUHAP yang lama dengan KUHAP yang baru,”
ujarnya.

Lebih jauh, Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya juga menyayangkan minimnya partisipasi publik dalam proses Revisi KUHAP. Padahal, sebuah rancangan UU mustahil menghasilkan undang-undang yang adil dan menjamin perlindungan hak asasi jika prosesnya terburu-buru dan minim partisipasi publik.

“Revisi KUHAP sangat tidak melibatkan warga, padahal revisi KUHAP banyak muatan-muatan yang dampaknya ke masyarakat,” kata Dimas.

Itulah sebabnya, KontraS mengusulkan agar menghidupkan kembali gagasan Hakim Pemeriksa Pendahuluan yang pernah dicantumkan dalam Rancangan KUHAP 2012. Kehadiran hakim ini diyakini dapat menjadi pintu masuk pengawasan awal agar tindakan paksa aparat dapat diuji sebelum perkara maju ke pengadilan.

Di sisi lain, Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad, memastikan bahwa pembahasan revisi KUHAP masih berada pada tahap partisipasi publik. Menurutnya, Komisi III DPR telah meminta izin untuk menggelar rapat pada masa reses agar dapat menampung aspirasi masyarakat.

“Ini kan masih dalam tahap partisipasi publik, makanya kemarin juga ada suara-suara bahwa akan segera disahkan saya pikir kan sudah terbukti tidak (benar),”
kata Dasco di kompleks parlemen, Jakarta, Jumat lalu.

Dasco juga menyatakan bahwa DPR RI terbuka terhadap berbagai pihak yang ingin memberikan masukan, termasuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), meski hingga kini ia belum memastikan adanya surat resmi dari KPK terkait hal tersebut.

Continue Reading

Hukum

Aktivis Sebut Penulisan Ulang Sejarah Sebagai Pembajakan Oleh Negara

Published

on

By

JAKARTA – Kebijakan revisi naskah sejarah nasional yang tengah dijalankan pemerintah menuai kritik tajam dari kalangan akademisi, aktivis, dan pegiat sejarah. Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) menilai langkah tersebut berpotensi menghapus peristiwa dan tokoh-tokoh penting yang dianggap tidak sejalan dengan kepentingan penguasa.

“Tindakan semacam ini adalah manipulasi sejarah. Betapapun gelapnya sejarah, ia harus tetap ditulis meski berdampak terhadap tragedi kemanusiaan dan mengungkapkan kesalahan kebijakan negara di masa lalu,” tegas anggota AKSI, Usman Hamid, dalam keterangannya, belum lama ini.

Justru yang dibutuhkan, menurut Usman Hamid, adalah pengungkapan sejarah secara jujur, bukan revisi untuk menciptakan narasi tunggal yang menyenangkan penguasa. Ia menilai kebijakan ini sebagai bentuk reduksi sejarah yang dapat mengancam kebebasan berpikir dan menumpulkan daya kritis generasi muda.

“Revisi naskah sejarah merupakan upaya reduksi yang berbahaya dan berpotensi mengebiri kebebasan berpikir generasi mendatang. Ini bukan proses akademik, melainkan pemaksaan tafsir tunggal oleh negara,” ujarnya.

Aliansi ini sebelumnya juga telah melakukan audiensi dengan Komisi X DPR RI untuk menyampaikan penolakan terhadap proyek penulisan sejarah resmi yang digagas Kementerian Kebudayaan, Senin (19/5/2025) lalu.

Aliansi yang terdiri dari sejarawan, aktivis hak asasi manusia, akademisi lintas disiplin, dan tokoh masyarakat ini menilai proyek tersebut sebagai bentuk pembajakan sejarah oleh negara, yang dikhawatirkan menjadi instrumen legitimasi kekuasaan dan penutupan ruang demokratis dalam membaca masa lalu bangsa.

“Yang paling berbahaya adalah proyek ini bisa digunakan untuk mencuci dosa rezim, baik yang berjalan saat ini maupun yang terjadi selama masa Orba di mana pelanggaran HAM berat terjadi secara masif,” tegas Ketua AKSI, Marzuki Darusman.

Tak hanya itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) juga cukup keras menyoal langkah Kementerian Kebudayaan dalam proyek penulisan ulang sejarah Indonesia. KontraS mengingatkan agar penulisan ulang tersebut tidak dilakukan dengan menyudutkan para korban pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya yang terjadi pada masa Orde Baru.

“Seharusnya sejarah tentang pelanggaran HAM dituliskan apa adanya, tidak boleh mendiskreditkan korban atau dituliskan dengan tone yang positif yang pada akhirnya mengaburkan fakta sejarah,” ujar Koordinator KontraS, Hans G Yosua, (17/7/2025).

Hans menegaskan bahwa periode Orde Baru hingga masa Reformasi penuh dengan catatan kelam pelanggaran HAM. Oleh karena itu, menurutnya, sangat disayangkan apabila dalam penulisan ulang sejarah, peristiwa-peristiwa tersebut justru digambarkan dengan narasi yang menyesatkan atau bahkan menyalahkan para korban.

“Sangat disayangkan jika peristiwa itu dituliskan dengan tone yang mendiskreditkan atau terkesan menyalahkan korban,” imbuhnya.

KontraS juga mengkritisi pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyangsikan terjadinya pemerkosaan massal terhadap perempuan etnis Tionghoa dalam Tragedi Mei 1998. Hans menekankan bahwa hasil penyelidikan Komnas HAM telah menyimpulkan bahwa kekerasan seksual dalam tragedi tersebut benar-benar terjadi.

“Sangat tidak tepat ya mau disangkal peristiwa yang terjadi di ’98,” tegasnya.

KontraS menyerukan agar pemerintah menghormati kebenaran sejarah dan tidak mengabaikan suara korban dalam proses rekonstruksi narasi sejarah bangsa. Menghapus atau membelokkan fakta sejarah, lanjut Hans, hanya akan melanggengkan impunitas dan memperparah luka kolektif masyarakat.

Continue Reading

Hukum

Ini Alasan Inayah Wahid Gugat UU TNI ke MK

Published

on

By

Jakarta – Putri bungsu mantan Presiden RI KH. Abdurrahman Wahid, Inayah Wulandari Wahid, turut menjadi pemohon dalam gugatan uji formil UU No 3 tahun 2025 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut Inayah, revisi UU TNI bertentangan dengan semangat reformasi dan supremasi sipil.

“Gugatan formil berangkat dari kekhawatiran prosedur legislasi yang tidak akuntabel dan pelemahan kontrol publik. Ini jelas bertentangan dengan nilai simbolis reformasi dan supremasi sipil,” tegas Inayah, Jakarta (12/6/2025).

Inayah menilai revisi UU TNI dilakukan secara tertutup, tanpa partisipasi publik, dan tidak masuk dalam agenda resmi Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Menurut Inayah, proses ini jelas mencerminkan praktik penyusunan undang-undang yang menyimpang (abusive law making).

Salah satu sorotan utama Inayah adalah pasal-pasal yang memperluas peran prajurit TNI aktif di lembaga-lembaga sipil. Dalam UU yang baru, jumlah lembaga sipil yang dapat diisi oleh prajurit aktif meningkat dari 10 menjadi 16 institusi.

“Langkah ini tidak hanya melanggar semangat reformasi, tetapi juga mengaburkan batas antara ranah militer dan sipil. Ini membuka ruang yang sangat besar bagi militer untuk masuk dan mengatur urusan sipil,” ujar Inayah Wahid.

Menurut Inayah, kebijakan tersebut berpotensi menghidupkan kembali praktik dwifungsi militer secara terselubung—sebuah kondisi yang pernah menjadi sumber represi dan pembatasan kebebasan sipil di masa Orde Baru.

“Sebagai simbol gerakan reformasi dan supremasi sipil, saya menilai gugatan ini bukan semata soal legalitas, tapi juga menyangkut arah demokrasi kita ke depan,” tambah Inayah.

Diketahui, Inayah Wahid menjadi salah satu pemohon gugatan formil Undang-Undang nomor 3 tahun 2025 mengenai TNI di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (7/5/2025). Ia dan dua pemohon lainnya menjadi pihak ke-9 yang menggugat Undang-Undang baru TNI.

Continue Reading

Trending